Implikasi perpajakan atas biaya tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Implikasi perpajakan atas biaya tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Oleh Arles Ompusunggu

Corporate Social Responsibility (CSR) yang diterjemahkan dengan istilah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan menjadi hal yang semakin populer sejak disahkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Pasal 74 UU PT mewajibkan perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang melekat pada setiap perseroan danyang tidak melaksanakan akan dikenai sanksi hukum. Pasal 15 (b) UU Penanaman Modal juga mewajibkan setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahan.
Ketentuan tentang CSR tersebut merupakan momok baru bagi investor yang akan menanamkan modal secara langsung di Indonesia. Perusahaan akan mengganggarkan kewajiban tersebut sebagai sebagai biaya perseroan, yang akan membebankannya dalam biaya pengurang penghasilan bruto dan berpotensi mengurangai kewajiban pajak-pajak terutang dikemudian hari.
Indonesia belum memiliki konsep pelaksanaan tentang tanggung jawab perusahaan sehingga perusahaan menafsirkan sendiri sesuai kepentingan seperti dalam bentuk sumbangan ke masyarakat sekitar perusahaan, bantuan beasiswa, program pemberdayaan masyarakat.Berbagai konsep CSR dari pemerintah, perusahaan, LSM yang berbeda mengakibatkan hanya sekitar 20 % perusahaan besar yang melaksanakan CSR sesuai hasil penelitian yang dilakukan ( ?)
Undang-undang PPh yang ada dewasa ini yaitu UU No 17 Tahun 2000 belum mengatur secara jelas mengenai pembebanan biaya usaha yang menyangkut pengeluaran yang termasuk dalam komponen CSR. Permasalahan utama akan timbul antara fiskus dan wajib pajak dalam menyamakan persepsi tentang boleh tidaknya biaya CSR dibebankan dalam pengurang penghasilan bruto usaha.
Dari sisi wajib pajak yang diwajibkan oleh undang-undang untuk mengeluarkan biaya CSR akan berkilah sah- sah aja membebankannya sebagai pengurang penghasilan bruto. Fiskus akan bersikukuh bahwa pengeluaran yang boleh menjadi pengurang penghasilan bruto adalah semata-mata berhubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
Apakah mungkin ketentuan biaya CSR yang telah tercantun dalam kedua undang-undang PT dan Penanaman Modal harus diakomodir dalam pasal Rencana Perubahan Undang-undang PPh yang sedang digodok di DPR sekarang? Tulisan ini mencoba mengurai alternatif solusi dari permasalahan yang timbul akibat perdebatan pembebanan biaya tanggung jawab sosial perusahaan dari sisi kajian teoretis perpajakan yang ada.

Fenomena global CSR

Pengertian CSR sendiri, menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), adalah keterpanggilan dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut masyarakat setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.
CSR merujuk pada semua hubungan yang terjadi antara sebuah perusahaan dengan semua stakeholders, termasuk di dalamnya adalah pelanggan, pegawai, masyarakat, pemilik atau investor, pemerintah, supplier, bahkan juga kompetitor.
Tanggung jawab utama sebuah perusahaan secara historis adalah untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dan meningkatkan nilai pemegang saham (maximize shareholders value). Namun seiring perubahan adanya tren globalisasi maka tanggung jawab perusahaan juga untuk lingkungan, penduduk sekitar, kondisi lingkungan kerja, praktik etika. Perusahaan disamping mencapai target profitisasi maka harus mencakup pencapaian aspek kesejahteraan masyarakat dan berkontribusi menyeimbangkan kelestarian lingkungan. Ketiga pilar tersebut dikemukakan oleh John Elkingkton (1997) dengan istilah triple bottom line yaitu: (1) economic prosperity,(2) environmental quality, (3) social justice.
Perusahaan tidak semata-mata bertanggung jawab ke pemegang saham tetapi juga untuk kepentingan stakeholder. Secara luas stakeholder perusahaan meliputi: pegawai, pelanggan, rekanan, investor, suplier, pemerintah, masyarakat. CSR secara umum merupakan keputusan perusahaan untuk mengemban nilai etika bisnis, kepatuhan kepada undang-undang, respek kepada masyarakat sekitar.
Secara global telah terjadi fenomena praktik pelaksanaan CSR terutama dimotori perusahaan publik yang listed di bursa saham. Sudah suatu keharusan seperti di New York Stock Exchange yang menerapkan Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi emiten perusahaan yang melaksanakan praktik CSR berupa Corporate Sustainability sejak tahun 1999. Hal yang sama diadopsi oleh London Stock Exchange dengan Social Responsibility Investment (SRI) Index sejak tahun 2001. Bagi perusahan publik tersebut CSR sudah merupakan komitmen perusahaan untuk berkontribusi mengembangkan ekonomi berkelanjutan melalui bekerjasama dengan pegawai, keluarga pegawai, masyarakat sekitar untuk memperbaiki kondisi kehidupan yang lebih baik bagi perusahan dan pembangunan Negara dimana perusahaan berdiri.
Hasil survai "The Millenium Poll on CSR" (1999) yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) terhadap 25.000 responden di 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktek terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan, sedangkan bagi 40% citra perusahaan & brand image yang akan paling mempengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen.
Pelaksanaan CSR di Indonesia belum berjalan secara sistematis oleh seluruh perusahaan yang ada. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chambers dkk (2002) atas 50 perusahaan dimasing-masing 7 negara Asia (India, Korea Selatan, Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina dan Indonesia) menunjukkan bahwa perusahaan di Indonesia termasuk paling rendah dalam pelaksanaan CSR. Hanya ada beberapa perusahaan yang telah menunjukkan aksi nyata dalam keberhsailan pelaksanaan CSR seperti PT HM Sampoerna, PT Petrokimia Gresik, PT Semen Gresik , PT Nike, PT Riau Andalan Pulp & Paper.
Walaupun demikian masih ada kalangan yang sinis berpendapat bahwa CSR yang dikemas dalam bentuk proyek-proyek sosial adalah untuk sasaran keuntungan komersial. Perusahaan akan mendapat peningkatan reputasi dimata publik dan pemerintah sehingga tujuan untuk memaksimisasi keuntungan akan tercapai. Oleh karena itu aturan UU yang mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan CSR akan menurunkan daya saing global perusahaan dan membebani perusahaan.
Padahal apabila ditelisik lebih dalam dengan pelaksanaan CSR maka masayarakat di sekitar perusahaan akan lebih sejahtera dan akan menjamin keamanan dan kelangsungan usaha dengan langgeng. Biaya CSR tidak semata-mata sebagai pengeluaran biaya yang menjadi pusat biaya (cost centre) namun dapat diarahkan menjadi sentra laba (profit centre).

Beban CSR dalam Undang-undang Pajak Penghasilan
Kewajiban CSR tidak mudah didefinisikan dalam beban usaha yang boleh mengurangi penghasilan bruto. Ketidak sinkronan aturan yang ada menjadi kendala bagi pemerintah dalam menjaring investor baru untuk menanamkan modal di Indonesia secara langsung. Investor tidak mempunyai pijakan kemana pos-pos biaya CSR akan dibebankan supaya dapat mengurangi beban pajak perusahaan. Secara kasat mata terlihat bahwa beban CSR tidak ada bedanya dengan pengeluaran sumbangan (charity) yang dilarang oleh Undang-undang Pajak sebagai biaya usaha pengurang penghasilan bruto.
Setiap wajib pajak selalui ingin memaksimalkan pengurangan biaya-biaya usaha untuk meminimalkan penghasilan kena pajak dan pajak terutang. Prinsip dasar yang menjadi acuan dalam menetapkan boleh tidaknya pengeluaran dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto usaha sebagaimana telah dianut dalam pasal 6 ayat (1) UU No 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yaitu prinsip 3 M (mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan masih saja menimbulkan perbedaan interpretasi antara pihak fiskus dan wajib pajak.
Konsep teoretis mengenai jenis-jenis biaya yang menjadi pengurang penghasilan bruto sebagaimana dikemukakan oleh Sommerfeld, Ray M, et.al dalam bukunya, An Introduction to Taxation, (1969:145-146) bahwa pengeluaran tersebut memenuhi kriteria-kriteria yaitu:
(1) Ordinary expense, bahwa komponen biaya secara umum dapat menjadi pengurang penghasilan bruto bagi semua wajib pajak.
(2) Necesssary, bahwa biaya yang dikeluarkan dianggap mampu untuk memberi kontribusi menghasilkan pendapatan perusahaan.
(3) Trade or business, bahwa biaya usaha adalah berhubungan dengan kegiatan lini usaha perusahaan.
(4) Reasonable in amount, bahwa biaya yang dikeluarkan merupakan jumlah yang wajar sesuai kepentingan usaha.
Penempatan pos biaya CSR seyogianya dibedakan dengan pos biaya sumbangan yang merupakan negative list sebagai unsur yang bukan objek pajak baik dalam pasal 4 ayat (3) dan pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh. Semua pengeluaran yang berkaitan dengan CSR, ditinjau dari Undang-undang PPh tidak masuk dalam kategori 'biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sehingga untuk keperluan PPh biaya-biaya tersebut tidak boleh dibebankan. Oleh karenanya pos CSR dapat dialokasikan secara gradual khusus bagi perusahaan yang telah mendapatkan laba sehingga dianggap telah mampu mengalokasikan sebagian dari penghasilan kena pajaknya untuk komitmen pengeluaran CSR.
Adanya kepastian pembebanan CSR dalam UU PPh akan menjadikan investor yang akan menanamkan modalnya secara langsung di Indonesia semakin yakin bahwa kepastian berusaha dapat dicapai tanpa khawatir melanggar UU PT dan UU Penanaman Modal. Perlu disadari oleh semua pihak bahwa beban CSR bukan semata-mata sedekah perusahaan kepada masyarakat sekitar tetapi dijadikan sebagai unsur penggerak perekonomian masyarakat. Mekanisme penyaluran CSR yang diutamakan dan diwajibkan kepada wajib pajak yang telah memperoleh laba usaha kena pajak akan menaikkan daya saing ekonomi di mata investor global yang akan masuk ke Indonesia.
Bagi perusahaan yang belum mendapatkan laba kena pajak namun terdorong secara sukarela untuk melaksanakan CSR boleh saja namun konsekuensi tidak mendapat pengurangan biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. Perusahaan tentu akan memikirkan dampak sosial dan ekonomi jangka panjang pasca penyaluran biaya CSR yang akan meningkatkan imej perusahaan dimata publik dan para stake holder lainnya.
Solusi permanen yang penulis usulkan masih perlu dirumuskan lebih lanjut terutama mekanisme pembebanan dan pengurangan dari penghasilan kena pajak supaya tidak menimbulkan perdebatan yang panjang dikemudian hari. Permasalahan yang akan muncul adalah mekanisme pengawasan dalam penyaluran CSR perusahaan yang terkait dengan sistem pemungutan pajak Indonesai berdasarkan sistem self assesment. Aparat pajak tidak mungkin mengawasi secara detil masing-masing Wajib Pajak yang melaksanakan CSR walau sudah dipilah khusus yang mendapatkan laba kena pajak.
Seyogianya paket perubahan UU Pajak Penghasilan yang sedang digodok di DPR juga mensinkronkan perlakuan pajak penghasilan atas biaya CSR dengan ketentuan yang sudah diatur dalam UU PT dan UU Penanaman Modal. Permasalahan yang dihadapi masing- masing Wajib Pajak dalam menyalurkan biaya CSR tidak sama. Sehingga tidak bisa disamaratakan bahwa setiap wajib pajak wajib menyalurkan biaya CSR.
Apabila tidak diatur dengan jelas maka perusahaan yang melaksanakan CSR akan cenderung berusaha membebankan biaya CSR dalam pengurang penghasilan bruto yang dikemas dalam aspek perencanaan pajak (tax planning) yang diperbolehkan Undang-undang Pajak. Sesuai pergeseran implementasi pembebanan CSR untuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (community development) maka perusahaan dapat mengalokasikan biaya CSR ke komponen biaya pendidikan, biaya pengembangan usaha, biaya public relation, biaya kemitraan perusahaan dan masyarakat. Alternatif pembebanan bisa dialokasikan dari penghasilan bersih setelah pajak dengan membentuk lembaga penyaluran CSR non profit yang menyalurkan dana bergulir ke masyarakat secara produktif.
Sejalan dengan semarak peningkatan program CSR yang telah mengglobal dan meluas seyogianya pemerintah dan dunia usaha menyatukan persepsi yang dapat menciptakan sistem yang menjamin terlaksananya penyaluran CSR secara akuntabel dan transparan.
Alternatif penyaluran program CSR yang tidak membebani perusahaan adalah dengan membentuk lembaga dana sosial pemegang saham diluar mekanisme struktur perusahaan. Sumber pendanaannya dialokasikan dari bagian laba ditahan perusahaan setelah dipotong pajak sehingga tidak perlu menambah biaya usaha yang menjadi pengurang penghasilan bruto. Pemegang saham selaku insan ekonomi sekaligus insane sosial yang telah mendapat hasil investasi dari pendirian perusahaan sudah selayaknya menyisihkan sebagian dari laba di tahan yang merupakan porsi dividen pemegang saham untuk dihibahkan dalam donasi lembaga sosial perusahaan. Diharapkan lembaga ini menjadi pemicu bagi peningkataan pemberdayaan masyarakat lewat CSR yang mampu memajukan masyarakat seperti yang dilakukan oleh beberapa perusahaan terkenal yaitu Ford Foundation di Amerika Serikat dan Sampurna Foundation di Indonesia.
Pilihan lain yang lebih moderat adalah dengan mengalokasikan sebagian penghasilan dalam satu pos neraca yang disalurkan dalam bentuk dana bergulir ke masyarakat yang berinteraksi dengan perusahaan.Penyaluran dana ini dapat dikategorikan sebagai pinjaman tanpa bunga yang diharapkan menguntungkan perusahaan dan penerima bantuan seperti bentuk kemitraan Usaha kecil dan menengah. Solusi seperti ini merupakan pengejawantahan tanggungjawab perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders responsibility) dalam bentuk simbiose yang saling menguntungkan. Negara juga tidak dibebani adanya potensi pengurangan pajak dari pengeluaran CSR perusahaan.
Cara lain dengan menyamakan perlakuan sebagai pengecualian objek pajak seperti bantuan atau sumbangan sebagaimana dimaksud dengan pasal 4 ayat (3) butir a (1) UU No 17 Tahun 2000. Permasalahannya adalah pihak mana yang dianggap sebagai lembaga diluar perusahaan yang mumpuni menyalurkan secara objektif dana CSR kepada masyarakat atau pihak pihak yang berkepentingan dengan perusahaan.

Komentar

AMISHA mengatakan…

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

Postingan populer dari blog ini

Self assesment definition