Potensi pajak atas transaksi perdagangan efek surat utang (obligasi)

Potensi pajak atas transaksi perdagangan efek surat utang (obligasi)
Oleh
Arles P. Ompusunggu
Sejak penetapan pemungutan pajak secara final atas transaksi perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia d/h BEJ dan pilihan pajak final dan tidak final atas transaksi perdagangan obligasi baik perusahaan dan obligasi Ritel ORI/SUN maka besar penerimaan pajak bergantung kepada volume transaksi harian yang dilaporkan ke otoritas bursa. Terhadap transaksi yang dilakukan diluar bursa (over the counter) dan transaksi yang mendapat pengecualian seperti perbankan, dana pensiun dan reksadana akan sulit terdeteksi bahkan kemungkinan lolos dari pengenaan pajak. Disamping tarif pajak final yang relatif kecil (0.01 %) dari volume transaksi saham di bursa dan tarif khusus atas transaksi obligasi maka dirasakan bahwa masih terdapat gap sebagai tax potential loss atas transaksi di bursa tersebut.
Khusus atas transaksi obligasi baik perusahaan dan obligasi pemerintah mayoritas lolos dari jaring pengenaan pajak penghasilan. Pasalnya adalah perbedaan perlakukan pemajakan kepada transaksi yang telah dilakukan investor tetapi tidak dilaporkan di bursa disinyalir bebas dari pengenaan pajak.
Keharusan pelaporan transaksi oleh pelaku pasar ke otoritas BEI d/h BES ternyata tidak direspon dengan maksimal yang terlihat dari volume perdagangan dan transaksi melalui mekanisme perdagangan Over The Counter Fix Income Securities (OTC FIS) ternyata lebih banyak diluar mekanisme bursa. Disinyalir bahwa atas transaksi yang dilakukan di luar bursa oleh investor akan luput dari pemungutan PPh Final sebesar 20 % sebagaimana diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002, terhadap penghasilan yang diterima Wajib Pajak (WP) tertentu. WP yang dikecualikan terutama Bank yang didirikan di Indonesia dan cabang bank luar negeri di Indonesia.
Misalnya dari volume perdagangan surat utang negara yang tercatat pada sub registry Bank Indonesia selama bulan Juni 2007 dari nilai yang diperdagangkan sebesar Rp 192.945.69 miliar diantaranya kurang lebih 60 % dimiliki oleh perbankan dan dari obligasi perusahaan yang diperdagangkan sebesar 5,13 triliun terdapat kepemilikan perbankan, dana pensiun dan reksadana kurang lebih 75 % yang mendapat pengecualian dari pengenaan pajak penghasilan final atas penghasilan dari transaksi obligasi. Transaksi lainnya yang tidak tercatat di bursa yang dilakukan secara over the counter diyakini belum terdata dengan akurat apakah sudah dikenakan pajak karena tidak mudah untuk melacak posisi penyampaian SPT akhir tahun oleh investor yang bersangkutan. Ilustrasi tersebut memperlihatkan bahwa sejak pemberlakuan PP No. 6 Tahun 2002 melalui Keputusan Menkeu No. 121/KMK.03/2002 tanggal 2002 hingga saat ini terdapat tax potential loss yang belum tergali secara maksimal.

Upaya peninjauan kembali ketentuan pemajakan atas transaksi obligasi di bursa
Pengaturan pemajakan atas transaksi perdagangan obligasi baik korporasi dan obligasi pemerintah merupakan jalan pintas yang ditempuh oleh pemerintah untuk menghasilkan penerimaan pajak. Sejatinya ketentuan tersebut mengeliminasi makna pemajakan atas penghasilan yang diperoleh investor dari transaksi di bursa (bursa efek surabaya). Praktis bahwa atas penghasilan investor luput dari upaya pemajakan akibat ketentuan bahwa transaksi obligasi yang dilaporkan ke bursa sudah dikenakan pajak penghasilan sebesar 20 % dan bersifat final.
Ketentuan ini yang mengadopsi perlakuaan pajak atas transaksi saham di bursa melaui Peraturan Pemerintah Nomor 91 tahun 1994 yang bersifat final. Walaupun namanya adalah pajak penghasilan akan tetapi pengenaannya bukan atas penghasilan melainkan atas nilai transaksi yang bagi investor asing diistilahkan sebagai pajak atas transaksi atau sebagai sales tax sebesar 0,1 % dari nilai transaksi.
Demikian juga yang berlaku atas transaksi obligasi di bursa yang mengenakan pemajakan yang bersifat final namun tidak dapat mencakup semua transaksi terkait dengan sifat perdagangan obligasi over the counter yang tidak wajib dilaporkan ke bursa. Berdasarkan perkiraan yang dilakukan oleh Bursa Efek Surabaya bahwa dari perbandingan antara transaksi perdagangan obligasi pemerintah ( surat utang negara termasuk ORI) yang sebenarnya dilaporkan di sub registry Bank Indonesai dan transaksi yang dilaporkan melalui mekanisme Fix Income Trading System pada BES bahwa nilai transaksi yang tidak dilaporkan meliputi 80 % dari total perdagangan obligasi.
Nampaknya ketentuan pemajakan atas perdagangan obligasi tidak bisa disamakan dengan pemajakan atas transaksi saham di bursa efek jakarta (bej) dimana semua transaksi saham wajib dilaporkan ke bej sehingga lebih mudah untuk melakukan mekanisme pengawasannya. Ditambah dengan ketentuan dala pasal 5 ayat a PP No 6 tahun 2002 yang mengecualikan pengenaan PPh Final atas transaksi perdagangan obligasi yang dilakukan oleh perbankan yang didirikan di Indonesia maka perolehan pajak dari transaksi obligasi tidak maksimal.
Pasalnya bahwa komposisi portofolio obligasi pemerintah sebagian besar mencapai sepertiga dimiliki oleh institusi perbankan secara langsung sehingga tidak dapat dikenakan PPh Final sesuai ketentuan. Harapannya bahwa pemilik obligasi akan melaporkan capital gain (keuntunganatas selisih harga beli dan harga jual) atau capital loss pada akhir tahun di SPT PPh Badan. Namun adalah sulit untuk memonitor pengecekan di SPT Tahunan masing-masing investor karena adanya sistem pelaporan SPT secara self assesment.
Usulan dari Bursa Efek Surabaya untuk mengikutkan perbankan dapat melakukan akses ke sistem perdagangan obligasi melalui bes juga akan mengalami hambatan karena terbentur pada pengecualian untuk melaporkan transaksi melalui bursa.Sehingga secara mendasar transaksi perdagangan obligasi yang dilakukan oleh perbankan akan lolos dari pengenaan pajak baik final.
Disinyalir bahwa kepemilikan perbankan pada obligasi perusahaan dan pemerintah yang diperdagangkan di bursa merupakan alokasi portofolio milik sendiri dan sekaligus milik nasabah. Sehingga dana nasabah yang diinvestasikan melalui perbankan tidak akan dikenakan PPh Final sebesar 20 %, akibat adanya pengecualian berupa pembebasan dari pengenaan pajak.
Sebaiknya pemerintah sudah saatnya mengilangkan berbagai pengecualian yang tidak perlu di dalam setiap instrumen kebijakan pemajakan sehingga tidak menimbulkan distorsi di tengah masyarakat dunia usaha. Setiap penerapan tarif tertentu atas penghasilan Wajib Pajak disamping memperhatikan prinsip kemampuan daya pikul (ability to pay) maka juga memperhatikan proporsionalitas dimana diterapkan seragam dan atas semua kategori basis pajak.

Kemungkinan pemajakan atas capital gain dari penghasilan investasi obligasi secara seragam
Ketentuan pemajakan atas penghasilan dari investasi obligasi berupa diskonto dari selisih lebih harga jual atau nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest) sebenarnya sudah diatur dalam pasal 3 ayat (b) PP No 6 tahun 2002 dengan mengenakan tarif tunggal sebesar 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/ berkedudukan di luar negeri. Upaya penyeragaman pengenaan pajak penghasilan apakah final atau non final atas penghasilan yang diperoleh investor obligasi di Indonesia tanpa pengecualian sudah perlu dipertimbangkan untuk menghindari upaya pengecualian dalam pemberlakuan suatu kebijakan pajak.
Permasalahan yang timbul adalah masalah tarif tunggal sebesar 20 % akan dirasakan terlalu tinggi oleh investor sehingga menginginkan penurunan tarif. Di satu sisi sesuai hasil penelitian yang dilakukan oleh Joseph J. Cordes (1992) di Amerika Serikat bahwa penurunan tarif akan membawa dua efek yang saling menguntungkan walau dirasakan berlawanan arah. Disatu sisi akan mengurangi potensi penerimaan pajak namun disisi lain penurunan tarif akan memancing orang atau badan yang memiliki obligasi terdorong keluar dari persembunyian untuk menghindar pajak dan jangka panjang semakin memperluas basis pengenaan pajak yang dapat mendorong peningkatan penerimaan pajak.
Alternatif lain adalah mengapuskan pengenaan pajak penghasilan final atas transaksi obligasi di bursa efek dan mempercayakan kepada investor untuk secara terbuka dan self assesment melaporkan di akhir tahun melalui sarana pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan PPh Badan.Memang tindakan ini akan menurunkan penerimaan pajak dari penghasilan transaksi obligasi menjadi turun secara drastis dalam jangka pendek.Tetapi melihat pengalaman sejak tahun 2002 bahwa yang terjaring dalam sistem pemajakan yang berlaku selama ini sangat minim terbatas kepada investor yang melaporkan transaksinya ke bursa efek surabaya sedangkan investor yang melakukan transaksi secara Over The Counter ( di luar mekanisme bursa) tidak terjaring secara nyata.
Sebelum meninjau kembali ketentuan penyeragaman pengenaan pemajakan atas transaksi maka perlu dilakukan sinkronisasi antara berbagai institusi yang terlibat dalam mekanisme transaski obligasi yang ada yaitu: (1) Bursa Efek Surabaya ( yang akan merger dengan Bursa Efek Jakarta menjadi Bursa Efek Indonesia);(2) PT KSEI selaku pemegang rekening efek untuk obligasi perusahaan; (3) Bank Indonesia selaku sub registry untuk obligasi pemerintah dan (4) pemerintah yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Pajak , BAPEPAM- LK, dan Ditjen Pengelola Utang Negara.
Setelah ada kesepakatan maka harus diberikan akses informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak atas data dan identitas pelaku transaksi obligasi di pasar sekunder dan pasar perdana apabila dilakukan penelitian pemenuhan kewajiban perpajakan investor baik individu dan institusi. Sesuai dengan pendapat Leon Yudkin, 1981 bahwa diperlukan akses terhadap arsip catatan wajib pajak dan akses kepada catatan pihak ketiga supaya terjamin adanya keberhasilan suatu sistem pemajakan atas penghasilan. Sebaliknya Ditjen Pajak diharapkan agar menyiapkan aparat yang handal yang menguasai seluk beluk transaksi perdagangan obligasi baik di pasar perdana dan pasar sekunder ketika akan melakukan pengecekan laporan investasi yang dilakukan oleh pemilik obligasi baik investor individu maupun institusi.
Apabila memilih memilih penyeragaman perlakukan pemajakan tanpa pengecualian maka sebaiknya tarif PPh Final diturunkan dari 20 % supaya mendorong investor melaporkan realisasi transaksinya ke otoritas bursa efek.Dengan merujuk kepada ketentuan yang melandasi penerapan tarif khusus sesuai Pasal 4 ayat (2) UU No 17 tahun 2000 maka hendaknya ditetapkan lapisan tarif yang moderat baik yang berlaku untuk Wajib pajak Dalam Negeri maupun WP Luar Negeri dengan kemungkinan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda diantara negara- negara OECD yang berkisar antara 7,5 % hingga 10 %.
Langkah untuk menghapuskan ketentuan pemajakan secara final atas transaksi perdagangan obligasi ditengah kondisi menuju modernisasi adminsitrasi pajak sekarang belum saatnya dilaksanakan. Argumen penulis adalah bahwa pemajakan yang efektif terhadap capital gain adalah saat terjadi realisasi penerimaan kas yang diperoleh investor tanpa menunggu hingga akhir tahun pajak. Penerapan asas realisasi adalah sejalan dengan prinsip pemajakan yang lazim atas wiholding tax yaitu pay- as-you- earn (p.a.y.e) atau memungut pajak saat wajib pajak memperoleh uang kas dari penghasilan atas transaksi dari perdagangan obligasi di bursa efek.
Mengingat bahwa pemilik obligasi ( bonds holder) tidak sebanyak investor saham maka selayaknya penerapan tarif tunggal tetap dilaksanakan namun tidak bersifat final supaya wajib pajak dapat mengkreditkan pada akhir tahun ketika mengisi SPT Tahunan Orang Pribadi dan atau Badan Hukum. Diharapkan bahwa investor obligasi adalah golongan masyarakat dan badan hukum yang tidak menabukan kepemilikan NPWP sebagai dasar pembuatan bukti pungut saat menerima realisasi penghasilan dari PT KSEI (untuk obligasi perusahaan) dan Bank Indonesia sebagai sub registry untuk obligasi pemerintah.
Kiat sukses untuk menggali penerimaan pajak dari transaksi obligasi diawali dari upaya peningkatan kesadaran investor selaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban kenegaraan dan kepatuhan membayar pajak penghasilan sebagai konsekuensi selaku warga negara negara kesatuan republik Indonesai. Kemudian mensosialisasikan penerapan tarif yang seragam yang moderat dan lebih rendah dari 20 % sehingga investor pemilik obligasi tertarik untuk segera melaporkan transaksi ke sistem pelaporan bursa efek indonesia d/h BES. Atas dasar tersebut maka akan memudahkan pihak-pihak terkait dalam mendukung pelaksanaan pemajakan atas penghasilan berupa bunga/kupon obligasi dan capital gain yang selama ini luput dari jaring pengenaan pajak.(apo)

Komentar

Fari mengatakan…
Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan perusahaan asal negeri mereka bakal terus berinvestasi di Indonesia, selama keberadaannya diinginkan Pemerintah Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Wakil Asisten Menteri Energi AS Jonathan Elkind, menanggapi langkah Presiden Joko Widodo yang memberi previllege kepada PT Pertamina (Persero).

Yakni terkait masa kontrak ladang minyak dalam negeri yang akan habis masa kontrak pengelolaannya dari tangan swasta asing, sebagaimana yang telah dilakukan dalam isu Blok Mahakam di Kalimantan Timur.

“Perusahaan AS bisa kontribusi dengan baik di pasar Indonesia apabila pemerintah Indonesia masih menginginkan keberadaan mereka di Indonesia,” kata Elkind, dalam jumpa pers usai menghadiri acara diskusi bertajuk Indonesia Energy Investment Roundtable di Jakarta, Senin (3/8).

Siap Investasi, Perusahaan AS Tunggu ‘Sinyal’ Pemerintah Indonesia

Postingan populer dari blog ini

Self assesment definition

Implikasi perpajakan atas biaya tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility)